Masalah mengatur uang belanja untuk makan sehari-hari ini tugas seorang ibu yang sangat umum. Tergelitik membahasnya disini, karena belakangan beberapa kali menemui hal yang berbeda dari apa yang saya ketahui sebelumnya.
Mamah, my Mom, manajer keuangan paling handal, bagaimanapun kondisi keuangan keluarga, prioritas utama beliau adalah mengatur belanja supaya kebutuhan nutrisi sekeluarga selalu terpenuhi. Saya belum bisa sehebat beliau. Saya pikir semua ibu ya seperti Mamah, mengatur belanja, memasak, menyediakan makan secara teratur. Ketika menemui yang berbeda, baru tahu,ooo... ada juga yang tidak sama ya?
Tapi dari pengalaman, cara Mamah lebih dapat diterapkan dalam mengatur urusan belanja ini.
Untuk bandingan saja, ini dua kondisi yang sama-sama pernah dialami ketika sudah berumahtangga.
Dulu, ketika masih kerja kantoran, kadang tak sempat sarapan di rumah karena harus mengejar jemputan bis perusahaan. Jadi seringkali beli sarapan di luar. Pulang kantor, makan malam, kadang ada, kadang tidak. Ini biasa ya, seperti yang pernah saya ceritakan di postingan
sebelumnya.
Kalau tidak ada, ya cari makanan di luar,biasanya nasgor abang-abang yang nangkring dekat rumah. Hemat? Tidak pernah menghitung persis. Tapi untuk ukuran masih berdua dengan suami, tanpa anak, semua itu no problem.
Ketika ada anak, hitungannya berbeda. Kita langsung saja dengan dua anak seperti sekarang ini. Apa gaya hidup seperti di atas lebih hemat dan mencukupi gizi? Mari kita coba lihat.
1. Pagi-pagi sarapan, beli, karena tidak sempat, atau alasan apapun. Siang, makan di kantor (Ayahnya), yang di rumah makan siang hasil masak dengan lauk (sayur dan protein), malam kadang habis. Ketika kebetulan habis, tidak masak lagi, berujung beli lauk di luar.
Pengeluaran: Sarapan 3 orang (2 anak dihitung 1 karena masih kecil-kecil): 25.000
Makan siang (contoh menu:cah sawi+ayam goreng) : 25.000
Ini cukup sampai makan malam, yang tidak cukup sampai makan malam:
Makan siang : 15.000
Makan malam nasi goreng 3 porsi : 30.000
Satu bulan diasumsikan makan malam di rumah 15 hari, makan malam beli 15 hari, totalnya:
Pengeluaran dapur 1 bulan: 1juta 800 ribu.
2. Sarapan di rumah, Siang makan seperti biasa, dipertimbangkan porsi makanan supaya mencukupi hingga makan malam.
Pengeluaran: Sarapan bisa roti, nasi goreng, telur mata sapi, dll : 15.000
(untuk semua anggota keluarga yang 4 orang, cukup)
Makan siang cukup hingga makan malam : 30.000
Total pengeluaran : 1 juta 350 ribu
Selisihnya: 450 ribu
Perbedaan kebiasaannya cuma sedikit lho! Pengaturan di porsi masak harian dan sarapan saja. Dan perhatikan, makan siang full sampai makan malam di nomer satu dan dua saya bedakan. Nomer dua budgetnya 30ribu, sedangkan nomer satu cuma 25ribu, tapi tetap saja nomer 2 lebih irit.
Dan yang perlu diingat, beli makanan diluar belum tentu terjamin higienitasnya.
Skip sarapan kalau tidak sempat? Itu bukan pilihan untuk saya, sarapan itu harus, sesempit apapun waktunya. Terlebih lagi untuk anak-anak. Pentingnya sarapan tak perlu dibahas lah yaa, semuanya sudah pinter soal ini tentunya.
Dari pengalaman, budget 30 ribu perhari itu kadang sisa. Kadang sisanya di bahan makanan, atau dalam bentuk uangnya. Jika bentuknya bahan makanan, biasanya jadi stok untuk masak menu yang lain. Dan ini sudah dapat menu full, komplit, sayur dan protein. Proteinnya bisa ikan,udang, cumi, telur, ayam.
Catatan lainnya yang perlu diperhatikan: Masak sendiri, ketika makanan habis, biasakan masak lagi, bukan cari makan di luar.
Ini juga bisa jadi bandingan untuk yang kateringan, contoh nih, ada iklan kateringan yang lumayan terjangkau dan enak, porsinya banyak, satu hari 50 ribu. Apakah pengeluaran dapur satu bulan jadi 1 juta 500 ribu saja? tentu tidaaak, kan sarapan belum dihitung.
Jadi, seperti biasa... hidup itu pilihan. Mau pilih membiasakan sedikit-sedikit berdalih tidak sempat sarapan di rumah, malas masak kalau sudah malam.... lalu beli, higienitasnya entahlah (dan menunya itu-itu saja), dan pengeluaran lebih besar?
Atau skip aja deh sarapan, dampaknya akan terasa di jangka panjang pada anak kita, dan menabung penyakit pada kita sendiri.
Atau...
Membiasakan sarapan di rumah, ibu selalu berusaha menyiapkan sarapan, mengatur menu tiap hari, makan pantas dengan gizi cukup, menu komplit, dan pengeluaran justru lebih kecil.
Semua terserah pada kita.
Dari perhitungan diatas juga bisa jadi pelajaran. Orang yang kelihatannya irit (untuk tak menyebutnya sengsara) karena porsi makan tak cukup hingga makan malam, justru sebetulnya tidak irit. Mau skip makan malam sekalian? Silahkan. Do it for a while, tak lama kemudian penyakit pencernaan mendatangimu. Untuk anak? lebih buruk lagi, proses tumbuh kembangnya gimana?perkembangan otaknya? kalau saya sih, tidak mau ambil risiko soal ini.
Dengan ini, kita juga bisa melihat manfaat sinergi peran suami dan istri.
Apakah keluarga yang makannya diirit, membiasakan beli jadi dengan menu seadanya, berarti suaminya tak bisa mencukupi?
Apakah keluarga yang makannya teratur dengan menu komplit berarti suaminya lebih kaya dari tipe yang pertama?
Dengan melihat perhitungan riil semua itu terjawab kan? Jika suami dan istri menjalankan perannya masing-masing dengan baik, penggunaan pendapatan keluarga pun lebih optimal. Suami giat mencari uang, istri disiplin dalam mengatur keuangan dan mau memasak.
Sekali lagi, terbukti, keterampilan masak itu tidak akan pernah jadi keterampilan yang ketinggalan zaman, khususnya untuk perempuan yang suatu hari kelak akan menjadi seorang ibu. Ini catatan untuk anakku, dia boleh jadi apa saja, Pharmacist (as I do), dokter, insinyur, atau apapun... tapi skill yang satu ini pun harus punya.